UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24
TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH
KONSTITUSI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa
dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya
sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6)
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur
tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
Mengingat
: 1.
Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan LembaranNegara
Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879); Dengan Persetujuan
Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya
disebut DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3.
Permohonan adalah permintaan yang
diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran
partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan
umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB II
KEDUDUKAN
DAN SUSUNAN
Bagian
Pertama
Kedudukan
Pasal 2
Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 3
Mahkamah Konstitusi
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Bagian
Kedua
Susunan
Pasal 4
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan)
orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Kontitusi terdiri atas
seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7
(tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua
usianya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua
dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 5
Hakim konstitusi
adalah pejabat negara.
Pasal 6
(1) Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua,
Wakil Ketua, dan anggota hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi pejabat negara.
(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan
tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
tertulis Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap
tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan
bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Bagian
Ketiga
Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan
Pasal
7
Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.
Pasal
8
Ketentuan
mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebihlanjut dengan Keputusan
Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
Pasal
9
Anggaran Mahkamah
Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
BAB III
KEKUASAAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Bagian
Pertama
Wewenang
Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus
pembubaran partai politik; dan
d. memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak
pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak
pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan
tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
e. tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Untuk kepentingan
pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi
berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat
untuk memberikan keterangan.
Bagian
Kedua
Tanggung
Jawab dan Akuntabilitas
Pasal 12
Mahkamah Konstitusi
bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan
sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.
Pasal 13
(1) Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan
laporan berkala kepada masyarakat secara
terbuka mengenai:
a. permohonan
yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
b. pengelolaan
keuangan dan tugas administrasi lainnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 14
Masyarakat mempunyai
akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
PENGANGKATAN
DAN PEMBERHENTIAN
HAKIM
KONSTITUSI
Bagian
Pertama
Pengangkatan
Pasal 15
Hakim konstitusi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela;
b.
adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan.
Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi
seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga
negara Indonesia;
b. berpendidikan
sarjana hukum;
c. berusia
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;
d. tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
f. mempunyai
pengalaman kerja di bidang hukum sekurangkurangnya 10 (sepuluh) tahun.
(2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib
membuat suratpernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi.
Pasal 17
Hakim
konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.
Pasal 18
(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3
(tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang
oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
pengajuan calon diterima Presiden.
Pasal 19
Pencalonan hakim
konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi,
pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan
memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa”
Janji hakim
konstitusi:
“Saya berjanji bahwa
saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2)
Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
hadapan Presiden.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Ketua/Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya
bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan
perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji Ketua/Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa
saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi
dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Bagian
Kedua
Masa
Jabatan
Pasal 22
Masa jabatan hakim
konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu)
kali masa jabatan berikutnya.
Bagian
Ketiga
Pemberhentian
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat
apabila:
a. meninggal
dunia;
b. mengundurkan
diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. telah
berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
d. telah
berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit
jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak
hormat apabila:
a. dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
b. melakukan
perbuatan tercela;
c. tidak
menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. melanggar
sumpah atau janji jabatan;
e. dengan
sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi member putusan dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
f. melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
g. tidak
lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan
dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Ketentuan
mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24
(1) Hakim
konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara
dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah
Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (2) huruf a.
(2)
Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja.
(3) Dalam
hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir tanpa
dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan
Keputusan Presiden.
(4)
Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya
permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak
dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani perkara.
Pasal 25
(1)
Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim
konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari
jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana meskipun tidak ditahan.
(3)
Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapatdiperpanjang untuk paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja.
(4) Dalam
hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir dan
belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan sebagai
hakim konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan
menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang bersangkutan direhabilitasi.
Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi
karena berhenti atau diberhentikan, lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadi kekosongan.
(2)
Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja
sejak pengajuan diterima Presiden.
Pasal 27
Ketentuan mengenai
tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan
Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
BAB V
HUKUM
ACARA
Bagian
Pertama
Umum
Pasal 28
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus
dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi,
kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang
dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam
hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam
hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang
bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan
oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4)
Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi
dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam siding
pleno untuk diambil putusan.
(5)
Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Bagian
Kedua
Pengajuan
Permohonan
Pasal 29
(1)
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.
Pasal 30
Permohonan wajib
dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 31
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama
dan alamat pemohon;
b. uraian
mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disertai dengan alat bukti
yang mendukung permohonan tersebut.
Bagian
Ketiga
Pendaftaran
Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pasal 32
(1)
Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi
melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.
(2)
Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat (2), wajib dilengkapi oleh pemohon dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3)
Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 33
Buku Registrasi
Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi
dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas
permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Pasal 34
(1)
Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama, setelah permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja.
(2)
Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman
kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
menempelkan salinan pemberitahuan tersebut di papan pengumuman Mahkamah
Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu.
Pasal 35
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan
sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(2)
Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan
tidak dapat diajukan kembali.
Bagian
Keempat
Alat
Bukti
Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:
a. surat
atau tulisan;
b. keterangan
saksi;
c. keterangan
ahli;
d. keterangan
para pihak;
e. petunjuk;
dan
f. alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4)
Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 37
Mahkamah Konstitusi
menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan
persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Pasal 38
(1) Para
pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.
(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang
dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari
persidangan.
(3) Para
pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk
atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika
saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut
menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk
menghadirkan saksi tersebut secara paksa.
Bagian
Kelima
Pemeriksaan
Pendahuluan
Pasal 39
(1)
Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib
memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Bagian
Keenam
Pemeriksaan
Persidangan
Pasal 40
(1)
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan
hakim.
(2)
Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib
persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat(2), merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pasal 41
(1) Dalam
persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang
diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
(3)
Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan
hakim konstitusi diterima.
Pasal 42
Saksi dan ahli yang
dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.
Pasal 43
Dalam pemeriksaan
persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
Pasal 44
(1) Dalam
hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam
persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang
khusus untuk itu.
(2) Surat
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan kepada
hakim konstitusi di dalam persidangan.
Bagian
Ketujuh
Putusan
Pasal 45
(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan
alat bukti dan keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat
fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi
dasar putusan.
(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang
dipimpin oleh ketua sidang.
(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim
konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
(6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim
konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan,
musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan
diambil dengan suara terbanyak.
(8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim
konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara
terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan
pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada
para pihak.
(10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat
bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis
Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Pasal 46
Putusan Mahkamah
Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus,
dan panitera.
Pasal 47
Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.
Pasal 48
(1)
Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus
memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas
pihak;
c. ringkasan
permohonan;
d. pertimbangan
terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar
putusan; dan
g. hari,
tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Pasal 49
Mahkamah Konstitusi
wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Bagian
Kedelapan
Pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Pasal 50
Undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 51
(1)
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan
warga negara Indonesia;
b. kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undangundang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa:
a. pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 52
Mahkamah Konstitusi
menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi
memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi
dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan
permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR,
Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
Pasal 55
Pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung
wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan
tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 56
(1) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah
Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam
hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(5) Dalam
hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 57
(1)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan
undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam
Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
Pasal 58
Undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 59
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden, dan Mahkamah Agung.
Pasal 60
Terhadap materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali.
Bagian
Kesembilan
Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya
Diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Pasal 61
(1)
Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan
langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta
menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.
Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan
permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada
termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 63
Mahkamah Konstitusi
dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 64
(1) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah
Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan
untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.
(4) Dalam
hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 65
Mahkamah Agung tidak
dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 66
(1)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa termohon
tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan,
termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika
putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.
Pasal 67
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Presiden.
Bagian
Kesepuluh
Pembubaran
Partai Politik
Pasal 68
(1) Pemohon adalah Pemerintah.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannyatentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai
politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 69
Mahkamah Konstitusi
menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 70
(1) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.
(2) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 71
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib diputus
dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 72
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan kepada partai politik
yang bersangkutan.
Pasal 73
(1)
Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2)
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh
Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Bagian
Kesebelas
Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum
Pasal 74
(1)
Pemohon adalah:
a. perorangan
warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan
umum;
b. pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap
penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi
Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a. terpilihnya
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. penentuan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
(3)
Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan
hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75
Dalam permohonan yang
diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a. kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;
dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pasal
76
Mahkamah Konstitusi
menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 77
(1) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah
Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam
hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 78
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib
diputus dalam jangka waktu:
a. paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden;
b. paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 79
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum disampaikan kepada
Presiden.
Bagian
Keduabelas
Pendapat
DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran
oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 80
(1)
Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya mengenai dugaan:
a. Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menyertakan
keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai
bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 81
Mahkamah Konstitusi
menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 82
Dalam hal Presiden
dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di
Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan
dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 83
(1)
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.
(2)
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan
membenarkan pendapat DPR.
(3)
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
Pasal 84
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam jangka waktu paling
lambat 90 (Sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 85
Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
BAB VI
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal 86
Mahkamah Konstitusi
dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan
tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.
BAB VII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 87
Pada saat
Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang diterima
Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja
sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk.
BAB VIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 88
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13
Agustus 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 98
PENJELASAN
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24
TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH
KONSTITUSI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang- Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu
substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat
pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi
melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga
negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam
penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata
untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara. Undang-Undang ini
merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian
hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim
konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai
pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan
partisipatif, dan
pemilihan hakim konstitusi secara obyektif
dan akuntabel. Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan
umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik
masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk
melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan
peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
Dalam Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003
dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sehingga Undang-Undang ini mengatur pula peralihan dari perkara yang ditangani
Mahkamah Agung setelah terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian”
adalah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak
pidana;
b. meminta keterangan tentang tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan/atau
f. penyitaan.
Pasal 7
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis
administratif Mahkamah Konstitusi, sedangkan Kepaniteraan menjalankan tugas
teknis administrasi justisial.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,
yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah
segala keterangan lisan dan tertulis, termasuk dokumen yang berkaitan dengan
perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian
dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam mengatur organisasi, personalia, administrasi,
dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban memberikan laporan berkala
berdasarkan ketentuan ini tidak mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam
ketentuan ini juga memuat tentang telah terpenuhinya seluruh persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan surat pernyataan tersebut disimpan
pada Mahkamah Konstitusi.
Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hakim
atau hakim agung, menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah
direksi atau
komisaris perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat
tidak boleh
menjalankan profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status
pegawai negeri yang
bersangkutan diberhentikan sementara sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan
ini bersifat
administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim
konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga
masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim
yang bersangkutan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan
tercela” adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat hakim konstitusi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persidangan” adalah
persidangan dalam pemeriksaan perkara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan”
adalah pelimpahan berkas perkara yang bersangkutan ke pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah
pengembalian hak-hak pribadi dan nama baik yang bersangkutan tanpa mengembalikan
kedudukannya sebagai hakim konstitusi.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa”
adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan
kewajiban sebagai hakim konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah
keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan kelengkapan
permohonan” adalah bersifat administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan barang bukti.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah alat bukti petunjuk.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap
Mahkamah Konstitusi” dalam ketentuan ini dikenal dengan istilah Contempt of Court.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah
keyakinan Hakim berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang
permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum
yang menjadi dasar putusan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan
pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal
19 Oktober 1999.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan”
adalah tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan. Dalam mengeluarkan penetapan
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah
Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil
pemilihan umum” adalah jumlah suara yang diperoleh peserta pemilihan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan
dengan jelas tempat penghitungan suara dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan
suara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita
acara rapat DPR” adalah risalah dan/atau berita acara rapat alat kelengkapan
DPR maupun rapat paripurna DPR.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi
kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4316
Didapat
dari berbagai sumber….
No comments:
Post a Comment