Tanpa
disadari, kita setiap hari telah melakukan kegiatan dalam rangka membangun rasa
percaya diri pada anak remaja. Seperti memeluk, memuji, dan mencium,
mendisiplinkan mereka ketika mereka sedang melanggar aturan, dan sebagainya.
Namun, tanpa kita sadari pula, kadang kita juga melakukan tindakan yang
menjatuhkan harga diri mereka.
Masa
transisi dari kanak-kanak ke dewasa adalah masa remaja. Masa itu biasanya
ditandai dengan gejala-gejala yang menonjol, seperti perubahan pada segi
biologis dengan mulai berfungsinya kelenjar kelamin, sikap sosial yang
bergelora dan eksplosif, dan perubahan pada seluruh kepribadiannya. Yang
disebut remaja adalah yang berusia 13
tahun sampai 17 tahun.
Problematika
yang dialami para remaja pada usia tersebut yaitu mengenai rasa kurang percaya
diri.Percaya diri yang positif yaitu jika remaja itu bisa dapat mengungkapkan
rasa percaya dirinya dengan baik, yang sesuai dengan norma-norma dasar yang
kita miliki yakni agama dan sosial. Keberanian para remaja untuk
mengaktualisasi potensi diri tidak terlahir secara instan. Orang tua dan
lingkungan mempunyai peranan penting sebagai pembentuk rasa percaya diri pada
remaja. Hal-hal seperti ini haruslah dipupuk sejak kecil hingga dewasa. Orang
tua harus bisa sebagai contoh. Akan lebih bijaksananya jika orang tua berusaha
memberikan motivasi dan pujian pada proses, bukan pada hasil yang didapat.
Sehingga ketika tujuan yang dicapai tidak berhasil, hal tersebut tidak akan
membuat rasa kecewa, karena dia percaya bahwa dia sudah berusaha dengan
maksimal dan yang terbaik.
Motivasilah
anak untuk selalu bersyukur dan bangga dengan apa yang telah dia miliki. Karena
rasa percaya diri tersebut harus muncul dari dalam diri mereka sendiri, bukan
karena respon dari luar atau pujian dari orang lain. Anak remaja yang mempunyai
rasa percaya diri rendah, biasanya tidak nyaman dengan pujian yang berlebihan.
Mereka sadar, pujian tersebut hanya untuk membuat mereka nyaman, dan bukan
karena keadaan yang sesungguhnya.
Pada
diri remaja, biasanya tampilan visual itu lebih mudah diingat daripada apa yang
mereka dengar. Seperti tren rambut, mode, bahkan hingga gadget terbaru. Hal ini
yang akan menjadi pemicu dari krisis percaya diri tersebut. Dan ini akan
membuat remaja terbagi dalam beberapa kelompok kecil yang mempunyai kesamaan
hobi, olahraga, atau fashion. Saat ini remaja lebih mengerucut dalam membuat
komunitas pergaulannya. Akibatnya, mereka yang ingin berteman dengan seseorang
yang ada di kelompok tertentu, merasa tidak percaya diri karena tidak memiliki
kesamaan di kelompok tersebut. Misalnya, si anak yang tidak suka olahraga ingin
bergabung dengan kelompok anak yang suka olahraga. Bisa juga si anak memaksakan
diri menjadi suka olahraga agar diterima di kelompok tersebut. Orang tua tidak
bisa memanipulasi keadaan, seperti pola pergaulan dan kemajuan teknologi. Jadi
yang harus dipegang adalah si anak.
Para
orang tua juga harus berkomunikasi dengan para guru. Itu perlu dilakukan,
karena keseharian anak banyak dihabiskan di sekolah. Adanya guru konselor bisa
meng-cover anak-anak yang mempunyai krisis percaya diri dan sekaligus bisa
menjadi jembatan antara anak dan orang tua. Bisa jadi, karena terkadang ada
perilaku atau sifat anak yang berbeda ketika dia di sekolah dan pada saat anak
tersebut di rumah.
Didapat dari berbagai
sumber…….
No comments:
Post a Comment